Belajar Menulis Dari Para Kyai
Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis . ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian – Pramoedya Ananta Toer.
Apa yang kita banggakan hidup di dunia jika tidak mampu memberikan peninggalan terhadap anak cucu kita. Bukanlah harta, tahta, dan ketampanan mampu bertahan sampai kiamat. Namun, tulisanlah yang mampu mempertahankan nama seseorang abadi sepanjang masa. Walaupun penulisnya sudah menghadap Tuhan, karya itu tetap ada dan kekal. Kita bisa langsung berguru pada ulama’ melalui karyanya Abu Al Qosim An Naisaburi yang seorang ahli tafsir hadits dan hadits wafat pada tahun 1016 M dari karyanya yang berjudul ‘Uqala al Majanin (Kitab Kebijaksanaan Orang-orang Gila). Hari ini pun kita bisa bersenda gurau dengan Imam Malik melalui karyanya Al Muwatho’. Pesantren Indonesia sekarang masih mengkaji karya Syaikh Imam Nawawi al Bantani seperti Uqud al Lujain, Nihayat al Zain, -Sullam al Munajat, Riyadh al Badi’ajh, Tijan al Durari, Nur al Zhalam dan lain-lain yang lahir 100 tahun yang lalu.
Saat ini, kita bisa membaca dan menyelami tulisan kitab turats yang sudah ratusan tahun lamanya bahkan ribuan tahun. Tak lapuk oleh waktu, tak usang oleh zaman. Kemudian muncul pertanyaan, kenapa bisa abadi nama tersebut walaupun sudah meninggal? Al Quran dalam surat Al Baqoroh: 154 “Dan jangan sekali-kali engkau menyangka orang-orang yang gugur di jalan Allah bahwa mereka itu mati, bahkan sebenarnya mereka itu hidup tetapi kamu tidak menyadarinya.” Namanya kekal abadi dikenang keturunannya, santri-santrinya, santri dari santri-santrinya karena dari karyanya.
Setiap manusia hendak meninggalkan sesuatu di dunia yang bagus-bagus. Khoirun an nas anfa’uhum li an nas (Sebaik-baik manusia adalah yang berbuat baik kepada orang lain). Sesuatu itu bagi Kyai Tholhah Hasan yang memiliki puluhan karya ialah “Monumen hidup itu, karya ya tulisan”. Kyai yang pernah menjabat Menteri Agama era Gus Dur di samping menulis, beliau juga meninggalkan Lembaga Pendidikan yang ia bangun. Lantas apakah kita dikenang yang bukan anak raja, atau bukan anak kyai? Agar dikenang maka menulislah. Begitu pesan dari Imam Al Ghazali.
Menulis itu bukanlah hal yang sulit, karena semua orang punya potensi menulis minimal menulis pesan lewat whatsapp. Di dalam buku Mengikat Makna bahwa pemikiran orang dari hari ke hari, bulan ke bulan itu sambung nyambung. Menulislah tempel di tembok, maka tinggal bikin sambungan. Kalau nyambung jadikanlah sebagai buku. Orang mau nulis, tulislah. Jangan berpikir macam-macam. Menulis tidak melihat sesuatu yang sulit, yang anda lakukan tulislah. Itu akan menjadi bumbu kehidupan anda. Menulis dengan sosok guru anda, resapi apa yang anda alami selama hidup dengan guru anda. Itu akan menjadi topik.
Menulis itu modalnya ringan hasilnya mengutungkan. Alatnya sering kita temui setiap harinya, Hp, Laptop, pulpen, dan kertas bekas, namun apabila konsisten hasilnya luar biasa. Waktunya bisa kapan saja, tidak usah menunggu waktu longgar. Salah satu contoh keuntungan bagi seorang penulis adalah Gus Aguk Irawan, beliau membangun Pondok Pesantren Baitul Hilman di Yogyakarta dengan tulisan tangannya yang berjudul Penakluk Badai KH. Hasyim Asy’ari, Novel kisah Cinta Gus Dur dan Bu Sinta, Haji Backpaker, Peci Miring.
Tulislah apa yang anda inginkan, turutilah ide yang mengalir dalam otak anda. Ketika muncul sebuah ide kapanpun dan dimanapun maka ambillah kertas dan tulislah, agar tidak lupa. Karena ide muncul kapan pun dan dimanapun. Ingin buat opini, tulis opini, pantun buatlah pantun, puisi buatlah puisi. Turuti hati Nurani.
Menulis itu butuh konsistensi, setiap hari sempatkan waktu menulis. Dengan istiqomah maka tidak terasa sudah terkumpul satu buku. Tanamkan dalam diri kita untuk meluangkan waktu menulis walaupun satu paragraph untuk pemula dan satu halaman untuk yang sedang berkembang menulisnya.
Bahan menulis itu dari banyak membaca. Kyai Tholhah dari Malang setiap hari baca dua jam, walaupun sudah jadi Menteri. Kita yang tidak apa-apa setiap hari bisa baca 6 jam, namun baca whatsapp. Dengan membaca menambah wawasan tulisan yang akan kita tulis.
Jika menemukan kesulitan untuk membuat tulisan, maka tulislah tentang aktivitas manusia setiap hari. Ini dinamakan dengan belajar dari kehidupan. Kisah seorang kyai yang haus akan ilmu, penjual pecel naik haji, nelayan yang banyak rizkinya, tukang becak yang pantang menyerah. Dengan menuliskan cerita kehidupan memudahkan tulisan kita mengalir, karena tahu kisah sebenarnya.
Tidak ada kata menyerah, tidak ada kata tidak bisa. Allah menciptakan badan yang sama, makan makanan yang sama, sama-sama minum air sebagai obat dahaga. Yang membedakan kita dengan para penulis adalah semangat dan keseriusan.
Tulisan ini pernah di muat di times indonesia