SEKILAS INFO
  • 2 tahun yang lalu / Masjid Ainul Yaqin UNISMA Menerima dan Menyalurkan dana Shodaqah, Infaq dan Santunan Anak Yatim dan Dhuafa
  • 2 tahun yang lalu / Untuk Konfirmasi bisa menghubungi narahubung Zain (085159290199) dengan menunjukkan bukti transfer  
WAKTU :

Beragama di Tengah Fanatisme Kelompok

Terbit 2 Maret 2021 | Oleh : Masjid Ainul Yaqin Unisma | Kategori : TAUSIYAH
Beragama di Tengah Fanatisme Kelompok

Beragama di Tengah Fanatisme Kelompok
Oleh: Dr. (HC) KH. Afifuddin Muhajir, M. Ag
Rais Syuriyah PBNU
Di Masjid Ainul Yaqin Universitas Islam Malang
Rabu 17 Februari 2021

Di dalam al-Quran disebutkan:

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (Surat al-Baqoroh: 256)

Dari ayat tersebut dijelaskan tidak boleh ada pemaksaan dalam beragama. Agama yang dimaksud yaitu agama islam, Hal ini dikarenakan dapat menurunkan martabat atau makna dari islam itu sendiri. Syarat masuk islam itu sangat mudah yaitu cukup dengan kejujuran dan hati nurani. Alasan pertama yaitu Salah satu ulama’ Yahudi yang bernama Abdullah bin salam, ketika pertama kali bertatap muka dengan nabi Muhammad SAW beliau berkata “ Demi allah ini bukan lah wajahnya sosok manusia pembohong” artinya dengan melihat sosok nabi Muhammad SAW dengan didasari hati nurani yang bersih akan yakin bahwa Muhammad adalah utusan allah dan agama islam adalah agama yang benar-benar diridhoi oleh allah SWT. Alasan yang kedua mengapa masuk islam tidak boleh di paksa, karena beragama ini harus berbasis keyakinan yang kuat. Agama yang dipaksakan hanya akan melahirkan orang-orang yang munafik.
Islam tidak boleh dikembangkan dan didakwahkan dengan kekerasan termasuk dengan peperang. Peperangan hanya dilakukan atau ditujukan kepada orang-orang yang lebih dulu memerangi kita (Umat islam), dalam surah Al Baqarah Ayat 190 menyebutkan :

وَقَاتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ الَّذِيْنَ يُقَاتِلُوْنَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Setiap orang yang beragama mempunyai hak bahwa agamanya lah yang terbaik bahkan bukan hanya hak tetapi setiap orang yang beragama mempunyai keyakinan bahwa agamanyalah yang paling benar tanpa menghargai kayakinan agama lain. Hal ini perlu adanya toleransi antar umat beragama. Toleransi tidak sama dengan justifikasi yaitu toleransi bukan berarti membenarkan sesuatu yang tidak benar justru toleransi berbasis adanya keyakinan bahwa pihak lain tak benar namun kita menghargai keyakinan yang dimiliki oleh orang lain atau perbedaan keyakinan tersebut.

Dalam Al-Qur’an dikatakan :

وَلَا تَكُوْنُوْا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوْا وَاخْتَلَفُوْا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْبَيِّنٰتُ ۗ وَاُولٰۤىِٕكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ۙ

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas (al-bayyinat).” (QS. Ali Imran: 105)

Ayat tersebut menjelaskan bahwa umat islam jangan sampai terpecah belah dan tidak boleh bertengkar antara satu dengan yang lain. Salah satu hadist mengatakan bahwa “ _Perbedaan dikalangan umatku adalah rahmat”. hadist ini masih dipersoalkan validitasnya, akan tetapi kandungannya dikuatkan dengan pernyataan khalifah umar bin abdul aziz yaitu “ aku tak senang, aku tak gembira seandainya diantara umat Muhammad ini tak berselisih atau tidak berbeda pendapat alasannya karena seandainya umat Muhammad tidak berbeda pendapat tidak akan terlahir rukhshah atau dispensasi-dispensasi. Ada suatu pertanyaan lebih baik mana antara Ittifaq dan Ikhtilaf dikalangan umat ini? Apakah lebih baik bersatu sepakat atau lebih baik ikhtilaf (Perbedaan) ? maka jawabannya pada dasarnya lebih baik Ittifaq dari pada iftiraq (Perpecahan). Akan tetapi Ikhtilaf bukan berarti suatu kesesatan, tergantung umat ini bagaimana cara mereka berikhtilaf. Karena Iktilaf itu dibagi menjadi 3 yaitu Iktilaf atau perselisihan dibidang politik, Iktilaf dibidang pokok-pokok agama dan Iktilaf dibidang cabang-cabang agama. Iktilaf atau perselisihan dibidang politik dan Iktilaf dibidang pokok-pokok agama dikalangan kaum muslimin adalah akar persoalan. Terlebih di pokok-pokok agama seharusnya kaum muslimin tidak memperselisihkan hal tersebut. Dalam persoalan cabang-cabang agama lebih baik ittifaq, akan tetapi dalam kondisi tertentu ikhtilaf menjadi rahmah salah satu contohnya terjadi suatu perselisihan dikalangan imam Abu Hanifah dan imam Syafi’i tentang boleh tidaknya seorang suami menggauli atau mengumpuli istrinya lepas haid tetapi belum mandi? Menurut Imam syafi’i hal tersebut tidak boleh namun imam abu hanifah memperbolehkan. Bagi orang yang menjalankan agama secara lebih berhati-hati, tentunya akan berpegang teguh pada pendapat imam syafi’i. Akan tetapi dalam kondisi emergensi, pendapat dari abu hanifah bisa menjadi jalan keluar. Hal tersebut kenapa perselisihan menjadi rahmah.

Sumber agama itu adalah Nash baik itu Al-Qur’an maupun As-Sunnah. Karakter nash itu ada 2 yaitu monotafsir dan multitafsir. Monotafsir yaitu ajaran agama yang bersumber kepada ayat-ayat dan hadist-hadist yang merupakan harga mati (tidak boleh ada pergantian) kapan saja dan dimana saja. Sedangkan ajaran agama islam yang berpedoman pada ayat-ayat dan hadist-hadist yang multitafsir yaitu berpotensi mampu beradaptasi dengan kondisi dan situasi dan rentang dengan perbedaan pendapat. Hal-hal yang dalilnya kurang jelas atau tidak jelas sama sekali, sudah dipastikan akan melibatkan akal manusia. Apabila akal manusia sudah terlibat dan terlibatnya terlalu jauh maka akan menimbulkan terjadinya penafsiran dan pendapat para ulama’.

Islam mengapresiasi setiap orang yang berupaya berfikir dan merenung secara maksimal untuk mencapai kebenaran. Bahkan dalam hadist mengatakan “orang yang mencari kebenaran dan tidak menemukan kebenaran akan mendapatkan suatu penghargaan yaitu satu pahala Sedangkan mereka yang mencari kebenaran dan mendapat kebenaran makan akan mendapat 2 pahala”. Dalam hadist yang popular mengatakan

 

وعن عمرو بن العاص أنه سمع رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّم يقول: إذا حَكَمَ الحَاكِمُ فاجْتَهَدَ ثمَّ أصَابَ فلَهُ أَجران، وإذا حَكَمَ فاجتهدَ ثمَّ أخطأَ فلهُ أجر” متَّفق عليه

diriwayatkan dari Amar bin Al-Ash RA, sesungguhnya dia mendengar “Rasulullah SAW, bersabda : “Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara dengan berijtihad, kemudian ijtihadnya itu benar, dia akan mendapat dua pahala. Sekiranya hakim itu memutuskan sesuatu perkara dengan berijtihad tetapi ijtihadnya itu tidak benar, dia akan memperoleh satu pahala”. (Muttafaq alaih).

Setiap mujtahid atau hakim harus benar tetapi boleh salah. Harus benar didalam proses dan boleh salah dalam produk. Dimaksud proses yaitu harus memenuhi kriteria dan syarat-syarat yang dimiliki seperti contoh syarat-syarat mujtahid yaitu memiliki pengetahuan yang cukup dan memberikan keputusan yang sesuai dengan yang ia miliki namun apabila produknya ada yang salah maka tidak menjadi persoalan.
Maka dalam hal ini tidak boleh membuli atau menyalahkan orang lain karena kita tidak tau mana yang benar dan mana yang salah. Dalam hadist dikatakan “Pendapatku ini adalah benar tapi mungkin saja salah, sedangkan pendapat orang lain itu menurutku salah tapi mungkin saja benar”. Adanya sikap toleransi dan tidak mudah menghakimi atau mengkafir-kafirkan orang lain tanpa kita mengetahui kebenarannya Hal ini termasuk ajaran dari Ahlussunnah Waljama’ah.

SebelumnyaBerteman Karena Allah

Berita Lainnya